LAPORAN
PENELITIAN
“PURA
SARASWATI”
di
SEKOLAH
TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM
Oleh
Nama
:Ni Luh Putu Juwita Dewi Novianti
NIM : 111 111 09
Semester :
IIIA (pagi)
Jurusan
:
Pendidikan Agama Hindu
KEMENTERIAN
AGAMA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA MATARAM 2012
SEJARAH
PURA SARASWATI
Sejarah
berdirinya pura Saraswati yang berdiri kokoh di areal kampus STAHN Gde Pudja
Mataram saat ini, tidak dapat dipisahkan dari berdirinya PGAH Mataram (sebelum
menjadi STAH). Adapun PGAH di negerikan pada tahun 1968 oleh bapak menteri
agama pada saat itu. Dari sejak dinegerikan sampai pada tahun 1975 kegiatan
belajar mengajar dilaksanakan dengan berpindah-pindah, kadang-kadang di SDN 1
Mataram dan kadang di SMP 2 Mataram yang bertoleransi meminjamkan gedungnya.
Tahun anggaran 1974/1975 PGAHN Mataram mendapat kucuran dana untuk memulai
proyek pembangunan. Langkah awal yang diambil adalah membeli tanah dan
dilanjutkan dengan membangun ruang kelas. Dan atas usaha dan kerja keras Dirjen
Bimas Hindu-Budha yaitu bapak Gde Pudja maka pemilik tanah yang ada disekitar
pura Pancaka rela melepas tanahnya untuk ganti rugi seharga Rp 31.000 are (Rp
310 per meter persegi) dengan janji bahwa pembelian tanah tersebut digunakan
untuk kepentingan umat hindu. Dan diatas tanah tersebut dibangun gedung PGAH
Negeri (sekarang menjadi STHN Gde Pudja Mataram), secara bertahap melalui
proyek PGAH Mataram yang sampai saat ini masih tetap berdiri dengan utuh yang
terdiri dari :
a.
Gedung/Ruang kelas
b.
Ruang Aula
c.
Rumah dinas Asrama
(pedoman pendidikan
STAHN Gde Pudja Mataram, 2003:1)
Pada
masa itu PGAHN Mataram sedang dalam masa kejayaannya. Sebagai sekolah yang
berbasis agama tentu saja kebutuhan tempat suci untuk bersembahyang merupakan
satu kebutuhan penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kemudian
muncullah ide untuk mendirikan sebuah padmasana yang berasal dari para siswa
PGAH yang banyak, yaitu kelas 1 terdiri dari 5 kelas, kelas 2 terdiri dari 3
kelas, dan kelas terdiri dari 4 kelas. Dengan berdirinya padmasana tersebut
maka siswa dan guru dapat melakukan persembahyangan secara bersama-sama. Tentu
saja hal ini sangat mengharukan sekaligus membahagiakan bagi Bapak Gede Bajra
Yasa B.A selaku kepala sekolah saat itu. Dengan bantuan sebesar Rp 12.500.000,-
dari Bimas Hindu-Budha maka padmasana kemudian di rehab kembali dengan mendatangkan
tukan (undagi) yang berpengalaman dari Gianyar tahun 2000. ( I Ketut Sukasana)
Setelah
padmasana berdiri dan di ikuti oleh pelinggih-pelinggih yang lain serta sudah
di buatkan tembok penyengker maka ada satu masalah lagi yang muncul. Masalah itu
muncul karena pura itu belum memiliki nama yang pas, hingga para staf, guru,
dan siswa mengikuti lomba yang diadakan kepala sekolah untuk pemberian nama
pura. Dari sekian banyak nama maka nama Saraswati-lah yang paling banyak keluar
oleh karena itu pura itu di beri nama pura Saraswati. Hal ini terkait dengan,
Dewi Saraswati adalah seorang dewi ilmu pengetahuan atau sering juga di sebut Mother Of Sain. Dewi yang sangat cantik
dan menarik begitupula ilmu pengetahuan tersebut sehinga membuat orang jatuh
cinta karenanya dan berduyung-duyung untuk mempelajarinya. Dengan ilmu
pengetahuan manusia dapat mengubah tingkah lakunya menjadi lebih baik, dan hal
ini bertalian erat dengan lingkungan PGAHN Mataram.(I Ketut Sukasana).
Pada
tahun 1993 jumlah siswa dari PGAHN Mataram kemudian mulai menyusut menjadi dan
jumlah terakhirnya menjadi 2 orang, karena alih fungsinamun oleh para guru di
usahakan agar lulus. Kemudian PGAHN Mataram di likuidasa atau dibubarkan. Para guru
yang mengajar di PGAHN Mataram kemudian dipindahkan ke beberapa sekolah SMA di
Mataram dan sebagian lagi pindah ke Bali. Karena PGAH telah dibubarkan maka,
untuk memenuhi kebutuhan akan guru agama hindu di NTB atas permohonan STIKP
agama hindu maka Dirjen Bimas Hindu-Budha. Departemen Agama mengijinkan untuk
mempergunakan seluruh aset eks PGAHN Mataram diambil alih oleh sebuah lembaga
baru bernama LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan), yang mana sebagai
kepala sekolah adalah Bapak Drs. Anak Agung Raka sekaligus pengganti Bapak Gede
Bajra Yasa B.A tahun 1994. LPTK pun tidak lama berada di masa kejayaannya dan
kemudian bubar. Namun atas tuntutan masyarakat NTB maka tahun 1995 Dirjen Bimas
Hindu-Budha mengijinkan Yayasan Dharma Laksana NTB untuk menggunakan seluruh
aset esk LPTK Mataram sebagai kampus STAH Swasta Mataram yang di ketui oleh
Bapak I Ketut Lagas (Alrm). (I Ketut Sukasana)
Pada
tahun 1995 saat aset dikelola oleh Yayasan Dharma Laksana Mataram Bapak Drs.
Saleh Harun selaku Kanwil (kantor wilayah) Depag Prop Ntb memerintahkan untuk
mengosongkan asrama eks PGAHN Mataram yang pada saat itu digunakan sebagai
perumahan para pegawai eks PGAHN Mataram untuk selanjutnya diserahkan kepada
Yayasan Sejahtera dengan janji dapat dimanfaatkan bersama.
Setelah STAH Mataram
Dinegerikan dengan SK Presiden RI No 27 th 2001 tanggal 21 februari 2001 dan
diresmikan oleh Bapak Menteri Agama RI tanggal 21 Juli 2001 ternyata pihak
Kanwil Depag NTB Yayasan Wisma Sejahtera belum bersedia melepaskan asrama eks
PGAHN tersebut, walaupun pihak mahasiswa telah mendesak untuk memfungsikan
kembali asrama tersebut sebagai asrama STAHN Mataram sehingga masalahnya
diambil alih oleh pusat.
Berdasarkan
SK Menteri Agama RI No. 204 tanggal 19 April 2002 semua asset eks PGAHN Mataram
berupa tanah beserta bangunannya yang terdiri dari kampus, Aula, Rumah Dinas
dan Asrama ditetapkan menhadi aset STAH Negeri Gde Pudja Mataram. Saat ini
asrama telah difungsikan sebagai Asrama para mahasiswa dan juga untuk menampung
tenaga dosen yang baru diangkat dan belum mempunyai tempat tinggal. Disamping
itu rumah dinas yang sebelumnya difungsikan sebagai kantor terpaksa dirubuhkan
karena pada lokasi dinas tersebut dibangun gedung tahap pertama melalui proyek
peningkatan pendidikan Agama Hindu Mataram 2002. (pedoman pendidikan STAHN Gde
Pudja Mataram, 2003:2)
Agama
Hindu sebagaimana juga agama yang lainnya adalah agama yang monotheis, yaitu
agama yang percaya dengan satu Tuhan Sang Hyang Widhi. Demikian juga konsep
Ketuhanan dalam Agama Hindupun menunjukkan ajaran yang monotheis, yaitu menganggap
segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan dianggap sama dengan
Tuhan.(Adiputra,1984: 85). Konsep kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
tercantum dalam kitab Veda, yaitu kitab suci Hindu yang merupakan Sruti, yakni
wahyu dari Tuhan. Karena Veda adalah kitab suci, maka Veda itulah merupakan
sumber pokok ajaran agama Hindu. Sebagaimana tercantum dalam kitab Manavadharmasastra
II.6. sebagai berikut:
" Idanim dharma pramananyaha; Vedo' khilo dharmamulam Smrtisile ca tadvidam Acarascaiva sadhunam Atmanastutireva ca".
Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci, akhirnya kepuasan dari pribadi.( Pudja, dan Sudharta,1996: 62). http://sanggrahanusantara.blogspot.com/2009/05/konsepsi-ketuhanan-dalam-hinduisme-siva.html-minggu-07-10-2012-21:29
" Idanim dharma pramananyaha; Vedo' khilo dharmamulam Smrtisile ca tadvidam Acarascaiva sadhunam Atmanastutireva ca".
Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci, akhirnya kepuasan dari pribadi.( Pudja, dan Sudharta,1996: 62). http://sanggrahanusantara.blogspot.com/2009/05/konsepsi-ketuhanan-dalam-hinduisme-siva.html-minggu-07-10-2012-21:29
Salah satu yang menjadi
pedoman umat hindu dalam hidupnya adalah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana
berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang
berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab.
Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya
kebahagiaan”. Meskipun dalam weda
Tri Hita Karana tidak disebutkan secara Spesifik. Tri hita karana popular
dengan istilah Parhyangan, Pawongan dan Palemahan. Yaitu sebagai berikut
a. Parhyangan.
Merupakan
hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, dalam hal ini manusia
diharapkan memiliki kedekatan bathin dengan Tuhan, setiap aktivitas didasari
oleh semangat pengabdian pada Tuhan. Manusia menyadari jati dirinya sebagai
atman atau mahluk spiritual yang harus selalu berhubungan dengan sumbernya
yaitu Tuhan.
b. Pawongan:
Ini
merupakan konsep hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, sebagai
sesama ciptaan Tuhan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, dalam hubungan ini
diharapkan akan muncul suatu ikatan persaudaraan antar sesama manusia yang
bersifat universal bebas dari unsur SARA
c. Palemahan:
Ini
merupakan konsep hubungan manusia dengan alam, dimana dalam konsep ini manusia
diharapkan memiliki tanggung jawab pada alam dalam mengelola alam tersebut.
Manusia tidak hanya memanfaat alam tanpa memperhatikan kelestariannya. http://www.facebook.com/notes/hindu-bali/tri-hita-karana-merupakan-sebuah-konsep-untuk-menghasilkan-keharmonisan-yang-sem/10151051034177596-minggu-07-10-2012-21:29
Adapun Konsep Ketuhanan dalam
Pura Saraswati adalah Pura Saraswati merupakan pura tempat untuk para mahasiwa
STAHN Gde Pudja Mataram memohon doa restu agar selama mengikuti perkuliahan
mendapat anugrah untuk dapat memahami setiap mata kuliah yang diajarkan oleh
para dosen dan juga untuk memohon keselamatan. Konsep ketuhanan yang secara
nyata dalam Pura Saraswati dapat di lihat dari bangunan yang pelinggih dan
bangunan lainnya yang berada di area Pura Saraswati tersebut. Bangunan pura
atau pelinngih itu antara lain :
Gambar diatas adalah bangunan
padmasana yang ada di Pura Saraswati. Padmasana berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu dari kata Padma yang artinya teratai dan Asana artinya sikap duduk atau
tempat duduk. Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang berbentuk teratai.
Mengapa di pilih bunga teratai ini dikarenakan bunga teratai diibaratkan mampu
hidup ditiga alam dimana akar dan pangkalnya didalam lumpur, batangnya berada
di air dan bunganya di atas air. Dalam hindu Sang Hyang Widhi menguasai tiga
alam atau Tri Bhuwana yaitu alam Bhur, Bwah, dan Swah.dan teratai identik
dengan hal itu. Teratai melambangkan ketidakterikatan pada benda-benda
material. Teratai sering dilukiskan memiliki kelopak delapan dan sari sebagai
yang kesembilan hal ini melambangkan Dewata Nawa Sanga. Bedawang Nala yang di lilit
oleh dua ekor naga, dalam mitologi hindu bedawang sama dengan penyu atau
kura-kura yang kepalanya mengeluarkan api, yang di ikat oleh dua naga sakti
jika penyu itu bergerak maka akan terjadi gempa. Dalam pengetahuan geologi
bedawang nala disebut sebagai magma api yang ada di kerak bumi. Dua naga sakti
itu adalah Naga Anantabhoga dan Naga Basuki. Naga Ananthabhoga sebagai simbol
dari Pertiwi yaitu lapisan bumi, sedangkan Naga Basuki adalah simbol dari
lapisan air yang menutupi kulit bumi ini yang berwujud gunung, sungai, dan
lautan/samudra. Simbol Garuda dibelakan padmasana memiliki makna atau simbol
manusia yang mencari pembebasan dari perbudakan benda-benda duniawi. Selain
Garuda dibelakang padmasana juga terdapat Angsa yang mengepakkan sayapnya
merupakan simbol manusia yang ingin kembali kepada Sang Hyang Widhi, yang juga
disebutkan amoring acintiya. Naga Taksaka pada singgasana berbentuk kursi
merupakan simbol dari lapisan terakhir dari bumi yang juga membungkus kulit
bumi tetapi selalu bergerak yaitu udara yang mengambil tempat di angkasa atau
melambangkan / atmosfier bumi. Dan lambang terakhir adalah lukisan Acintya pada
padmasana, Acintya mempunyai arti tak terpikirkan. Dengan demikian Acintya
adalah simbol bahwa Tuhan itu tak terpikirkan. Dalam kitab-kitab Upanisad
menyatakan bahwa Tuhan itu sangat sulit diberikan batasan, sebab batasan
cendrung mempersempit dari pengertian Tuhan Yang Maha Agung itu. “Neti-neti”,
bukan itu, bukan ini? Demikian kitab-kitab Upanisad menyatakan. Padmasana pada
hakekatnya adalah merupakan simbol dari bumi ini atau Bhuwana Agung (alam
semesta) karena alam semestalah merupakan sthana Hyang Widhi di dunia ini.
Untuk merealisasikannya maka diwujudkanlah dalam bentuk Padmasan. (http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1244&Itemid=120-senin-08-10-2012-11:19
Gambar diatas adalah patung
dari Dewi Saraswati. Dewi Saraswati adalah salah satu personifikasi aspek Tuhan
Yang Maha Esa, dan dalam Hindu Dewi Saraswati merupakan simbolis dari ilmu
pengetahuan. Saraswati berasal dari kata “saras” dan “wati”, saras berarti mata
air dan wati berarti memiliki. Jadi Saraswati adalah sesuatu yang memiliki atau
mempunyai sifat mengalirkan secara terus menerus air kehidupan dan ilmu
pengetahuan. Gambaran umum dari Dewi Saraswati adalah seorang wanita cantik
yang bertangan empat. Cantik sebenarnya mengandung simbol bahwa ilmu
pengetahuan sangat menarik. Dalam Tri Murti, Sang Hyang Aji Saraswati adalah
sakti dari Dewa Brahma. Beliau diwujudkan sebagai wanita cantik bertangan empat
lengkap dengan atributnya dan masing-masing memiliki arti. Atributnya antara
lain :
a. Genitri
melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak pernah berakhir sepanjang hidup
dan tak akan pernah habis dipelajari.
b. Cakepan/kitab
adalah lambang sumber ilmu pengetahuan .
c. Wina/alat
musik adalah mencerminkan bahwa ilmu pengetahuan dapat mempengaruhi rasa
estetika/keindahan dari manusia
d. Teratai
sebagai stana/linggih Hyang Widhi.
e. Burung
merak melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu agung dan berwibawa.
f. Angsa
adalah simbol dari kebijaksanaan untuk dapat membedakan antara yang baik dan
buruk dan juga merupakan lambang dari ketiga dunia ini.
Jadi menurut saya sudah
tepatlah kiranya di areal kampus STAHN Gde Pudja ini terutama dalam lingkungan
puranya terdapat patung Dewi Saraswati sebagai simbol suci ilmu pengetahuan.
Gambar diatas adalah pelinggih
yang disebut sebagai Pangrurah atau Pengrurah. Pangrurah terletak di sebelah
selatan patung Dewi Saraswati, merupakan tempat istana Bhatara Kala “putra”
Dewa Siwa yang menjadi pengatur kehidupan dan waktu yang melindungi manusia
dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Dewa yang berstana disana adalah Ratu
Gede Sedahan Pangrurah.
Gambar diatas menunjukkan
sebuah batu yang disakralkan yang terdapat dalam areal “Utama Mandala” Pura Saraswati. Adapun keunikan dari batu ini
adalah pada wal ditemukan oleh bapak penjaga kampus batu ini hanya berukuran
sekepalan tangan. Dan seiring waktu berjalan terjadilah keanehan pada batu ini
dimana batu ini semakin lama semakin bertambah besar seperti terlihat pada
gambar. Karena dinilai batu itu memiliki vibrasi tertentu apalagi terletak di
area pura maka bapak penjaga sekolah kemudian mempersembahkan atau dalam bahasa
balinya “ngaturang banten” sebagai
wujud rasa bhakti dan juga untuk menghargai sesama, meskipun sampai sekarang
belum jelas dewa apa yang bersthana disana.
Gambar diatas merupakan
Bale Pawedan atau juga Bale Peyadnyan karena selain tempat meletakkan banten
juga merupakan tempat Ida Pandita mepuja.
Gambar
diatas adalah Pelinggih Jro Gde yang merupakan “Penunggun Karang” kampus STAHN Gde Pudja Mataram. Ada sebuah cerita dulu ada sebuah sumur yang
dikatakan dihuni oleh makhluk halus. Kemudian sumur itu ditimbun untuk
dijadikan penyedot WC. Akhirnya para makhluk halus itu berpindah ke sebelah
selatan di pohon beringin yang besar dan rimbun itu. Dan kemudian banyak
kejadian aneh yang terjadi menimpa para siswa dan guru yang mengajar di sana.
Akhirnya diputuskan untuk membuatkan pelinggih sebagai pengancah atau pengiring
Dewi Saraswati sekaligus merupakan “penunggun
karang” di arel kampus.
Gambar
diatas merupakan Candi Bentar dan pelinggih Apit Lawang. Candi Bentar memiliki bentuk
belah dua yang berfungsi untuk pintu masuk ke halaman pertama dari pura. Untuk
memasuki halaman kedua (jeroan pura) melalui candi kurung atau kori agung
dengan berbagai macam bentuk variasi dan hiasannya. Pelinggih Apit Lawang ini
berfungsi sebagai penjaga lingkungan Utamaning Mandala. Adapun yang melinggih
di pelinggih Apit Lawang adalah Prekangge
Ida Bhatara atau Pembantu Penjaga Ista Dewata Sang Hyang Widhi.
Gambar
diatas adalah Bale Gong. Adapun fungsi
dari Bale Gong adalah untuk menyimpan Gong saat tidak digunakan dan tempat
memainkan alat musik tradisional tersebut untuk mengiringi upacara keagamaan
yang sedang berlangsung. Selain itu di Pura Saraswati, Bale Gong juga digunakan
sebagai tempat untuk melaksanakan rapat. Adapun betara yang bersthana di sini
adalah Sang Hyang Gurnita.
Gambar
diatas adalah Pewaregan. Pawaregan ini lebih sering digunakan sebagai dapur
pada saat upacara keagamaan, dan digunakan untuk mengolah makanan yang akan
digunakan untuk upakara dan biasa juga sebagai tempat “megibung” atau makan bersama dalam kelompok yang sudah
mendarah-daging di daerah Lombok ini.
PUJAWALI
di PURA SARASWATI
Pada
jaman PGAHN Mataram dulu dalam pelaksanaan pujawali seluruh siswa berperan
aktif dan sebagian besar dananya ditanggulangi pihak sekolah dengan mengambil
sebagian dari SPP para siswa dan iuran para guru. Selain pujawali pelaksanaan
persembahyangan purnama-tilem yang di koordinir oleh ketua OSIS beserta para
guru terutama guru bidang studi acara, dan diisi dengan dharma wacana secara
bergantian bagi siswa kelas 1 dan siswa kelas 2 dengan mendapat bimbingan dari
kakak kelas mereka yaitu kelas 3. Pujawali pada Pura Saraswati tepatnya jatuh
bersamaan dengan perayaan hari raya Saraswati yaitu pada hari Saniscara Umanis
wuku Watugunung. Menjelang masa bubarnya PGAHN Mataram maka hal-hal yang
berkaitan dengan pujawali di Pura Saraswati diambil oleh masyarakat Karang
Medain, dan kemudian kembali lagi diambil alih oleh warga kampus setelah
berdirinya STAH Swasta. Dan hingga sekarang setelah STAH di negerikan dengan
nama STAHN Gde Pudja Mataram kegiatan keagamaan di Pura Saraswati di lakukan
oleh seluruh civitas akademika.
Hal-Hal
unik yang terdapat dalam Pura Saraswati
Adapun hal-hal unik
yang terjadi di areal kampus STAHN Gde Pudja Mataram yaitu :
a.
Pada saat siswa PGAHN Mataram tinggal 2
orang guru yang mengajar pun hanya 2 orang saja. Sampai mereka lulus, dan upacara
meski pernah diambil alih oleh masyarakan Karang Madain tetapi akhirnya tetap
dikembalikan lagi ke pihak kampus.
b.
Kemunculan batu dalam areal “utama mandala” yang semakin lama semakin
membesar membuat kita yakin bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini.
c.
Pada saat hari raya Saraswati tiba tidak
hanya civitas akademika saja yang melakukan persembahyangn tapi juga dari
berbagai sekolah se-kota Mataram.